Kamis, 29 Juni 2006

FUNGSI JALAN


Jalan menurut undang-undang jalan raya No. 13 / 1980, adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas. Menurut Moughtin (1992), jalan adalah garis komunikasi yang digunakan untuk melakukan perjalanan di antara dua tempat yang berbeda, baik menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki.

Jika disebut jalur, jalan adalah cara untuk menuju akhir tujuan atau perjalanan. Jalan merupakan permukaan linier dimana pergerakan terjadi di antara dua tempat, sehingga dapat dikatakan fungsi jalan adalah menjadi penghubung antara dua bangunan, penghubung antara dua jalan dan penghubung antara dua kota. Pendapat ini diperkuat oleh Carr (1992), yang mengatakan bahwa jalan adalah komponen dari sistem komunikasi kota sebagai sarana pergerakan benda, masyarakat dan informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Selanjutnya, menurut Spurrier dalam Bishop (1989), jalan tidak dapat dipertimbangkan hanya sebagai jalur kendaraan, tetapi secara keseluruhan menjadi bagian integral kehidupan manusia. Dan Budiharjo (2005), mengatakan bila jalan direncanakan hanya berdasarkan anggapan akan fungsinya, maka akan menutup peluang untuk memanfaatkan jalan sebagai ruang untuk beraktivitas. Lewelyn – Davies (2000), menguraikan bahwa pada setiap perencanaan sebuah jalan timbul pertanyaan ”apa yang dapat terjadi di jalan ini?”. selanjutnya Lewelyn – Davies mengungkapkan dari fungsi awal jalan sebagai jalur penghubung, muncul kegiatan lain di sepanjang jalan tersebut, namun harus dilihat pula dari beberapa aspek lainnya, seperti peranan jalan itu sendiri dari sudut pandang masyarakat, tipe dari bangunan disekitarnya serta penataan landscape yang mendukung.

Appleyard (1981), mengungkapkan bahwa jalan adalah pusat sosial kota dimana masyarakat berkumpul, tapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian dan sirkulasi. Ditambahkan oleh Jacobs (1993) bahwa jalan yang baik mendorong partisipasi, masyarakat berhenti untuk berbicara atau mungkin mereka duduk dan melihat, sebagai peserta pasif, menerima apa yang ditawarkan jalan.

Dari beberapa uraian teori diatas diketahui bahwa jalan merupakan sarana untuk melakukan perpindahan dari suatu tempat menuju pada suatu tempat, dari satu titik menuju ke titik lainnya. Namun jalan merupakan suatu arena kegiatan sosial pula, sebagai pintu gerbang ruang privat manusia menuju ke ruang dengan dimensi yang lebih luas yaitu masyarakat / publik.

Amos Rapoport mendeskripsikan bahwa kegiatan utama atau kegiatan tetap suatu objek disbut dengan fungsi manifest. Fungsi manifest adalah fungsi dasar atau fungsi tetap dari suatu lingkungan binaan yang ditentukan / direncanakan sejak awal dan kegiatan manifest adalah kegiatan spesifik dari fungsi tersebut (Rapoport, 1977).

Sedangkan kegiatan tambahan atau kegiatan yang muncul setelah fungsi sebenarnya / manifest disebut sebagai fungsi laten. Fungsi laten adalah ”fungsi sampingan” yang terjadi kemudian karena adanya kegiatan-kegiatan ”varia” yang muncul meskipun biasanya tidak dipertimbangkan sebelumnya dalam perencanaan (Rapoport, 1977).

Jika dikaitkan, maka jalan dengan fungsi manifestnya sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan antara 2 tempat yang berbeda, dan jalan memiliki fungsi laten sebagai tempat beraktifitas sosial, tempat berhubungan antar masyarakat, masyarakat sebagai peserta aktif maupun pasif yang mungkin hanya duduk atau melihat apa yang ditawarkan oleh jalan tersebut.

Sebagai contoh jalan yang memiliki fungsi laten yang beragam dan sangat kompleks ada di beberapa kota di Indonesia, umunya adalah jalan yang memiliki dimensi yang lebar, dan memiliki tingkat kepentingan yang tinggi (misalnya pada jalan tersebut terdapat kantor-kantor pemerintahan), salah satunya jalan Pahlawan Semarang, pada koridor jalan ini terdapat beberapa fenomena kegiatan laten yang timbul disamping aspek manifestnya, aktifitas klub otomotif, perdagagan sektor informal, hingga sebagai tempat ngabuburit di saat bulan puasa tiba.

Dari beberapa koridor jalan di kota Semarang, Jl. Pahlawan dipilih oleh masyarakat sebagai tempat untuk mengekspresikan diri / berkegiatan, ini menimbulkan kesan tersendiri pada kota ini, sehingga jika suatu saat muncul pertanyaan ” jalan apakah di kota Semarang yang memiliki daya tarik sebagai ruang sosial?” maka jawabannya adalah Jalan Pahlawan. Fenomena kegiatan ini secara berkala terjadi terus menerus, menjadi daya tarik pusat kota, dan kelebihannya kawasan ini adalah tidak terjadinya konflik antara pengguna ruang di koridor ini, pedagang dengan masyarakat yang beraktifitas, antara pedagang dengan parkir dan lain sebagainya, kesemuanya saling bersinergi dengan baik.

Dari uraian diatas, dijelaskan bahwa saat ini jalan bukan hanya memiliki fungsi sebagai sarana transportasi saja, namun juga sebagai tempat dimana aktifitas dapat dilakukan, sebagai wadah untuk bersosialisasi antar pengguna ruang yang disebut aktifitas laten, keberagaman fungsi akan timbul jika kegiatan telah terjadi pada sebuah koridor jalan, pengguna ruang dengan berbagai latar belakang budaya memberikan cirikhas tertentu pada koridor tersebut, sehingga koridor tersebut memiliki makna tersendiri.

PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Istilah korupsi berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus”, berarti kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Pendapat lain mengemukakan, bahwa kata "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.

Dalam Webster’s New American Dictionary’, istilah ‘corruption’ diartikan sebagai decay berarti lapuk, contamination berarti kemasukan sesuatu yang merusak, dan impurity berarti tidak murni. Sedangkan istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai ”to become rotten or putrid” yang berarti menjadi busuk, lapuk, amat tidak menyenangkan, juga ”to induce decay in something originally clean and sound” diartikan, memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk ke dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus. Sedangkan dalam ‘Black’s Law Dictionary’ istilah ‘corrupt’ diartikan “having an unlawful or depraved motive; esp., influenced by bribery; to change (a person’s morals or principles) from good to bad”. Sedangkan istilah ‘corruption’ berarti “depravity, perversion, or taint; an impairment of integrity, virtue, or moral principle; esp., the impairment of a public official’s duties by bribery”. Hal ini berarti “The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others”.

Dalam ‘The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary’, istilah ‘corrupt’ diartikan tidak jujur, busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral. Sedangkan istilah ‘corruption’ diartikan sebagai penyuapan, pembusukan, kerusakan moral. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah ‘korup’ diartikan buruk, rusak; suka menerima uang sogok; memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sedangkan istilah ‘korupsi’ diartikan, penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai berlaku immoral; memutarbalikkan kebenaran. Istilah ‘corruption’, berarti menyalahgunakan wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian korupsi adalah penyelahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam istilah–istilah tersebut tidak mempunyai efek yuridis sama sekali, sebelum dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, karena korupsi merupakan kejahatan dalam arti yuridis.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut :

Pasal 2
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam Penjelasan UU No. 20 Tahun 2001 diuraikan bahwa :

yang dimaksud keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana (dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan ksrisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun clan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Berdasarkan ketentuan di atas diketahui bahwa unur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: setiap orang (manusia maupun korporasi), melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sedangkan dalam Pasal 3 ditentukan bahwa tindak pidana korupsi mempunyai unsur-unsur: setiap orang, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, dapat merugikan keuangan atau perekonimian negara.

Sedangkan dalam Pasal 5 mengatur tentang (1) orang yang memberi atau menjanjikan kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya atau bertentangan dengan kewajiannya; (2) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji.

Erat kaitannya dengan tindak pidana KKN, dalam Pasal 12 B dan C UU No. 31 Tahun 1999 diatur tentang gratifikasi.

Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penye?lenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan ` paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) diuraikan bahwa :
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobat?an cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilaku?kan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifi?kasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidaria Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pem?berantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 B ayat (1), menurut Barda Nawawi Arief, diketahui 6 hal berikut :
a. Gratifikasi dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya dirumuskan dalam "penjelasan Pasal 12 B ayat (1)", yaitu suatu "pemberian dalam arti luas" yang meliputi:
1) pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma?cuma, dan fasilitas lainnya;
2) pemberian itu diterima di dalam maupun di luar negeri;
3) pemberian itu dilakukan dengan atau tanpa sarana elektronik.
b. Dilihat dari perumusannya, gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik, yang dijadikan tindak pidana menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan gratifikasi-nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi.
c. Pasal 12 B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan mengenai:
1) batasan pengertian gratifikasi yang dianggap sebagai "pemberian suap"; dan
2) jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai "pemberian suap".
Tindakan yang dianggap sebagai "pemberian suap", yaitu apabila gratifikasi (pemberian) diberikan kepada "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara"; dan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Berdasarkan ketentuan tentang gratifikasi diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis gratifikasi, yaitu:
a. Gratifikasi yang bernilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih; dan
b. Gratifikasi yang bernilai kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
c. Pasal 12 B ayat (2) menentukan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu pidana seumur hidup, atau pidana penjara dalam waktu tertentu, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan
d. pidana denda (minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) clan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
e. Dengan perumusan Pasal 12 B ayat (2) itu. maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi jenis pertama (besarnya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih) dan penerima gratifikasi jenis ke dua (besarnya di bawah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)). Jadi, tidak ada perbedaan substantif. Yang ada hanya perbedaan prosesual, yaitu (berdasarkan Pasal 12 B ayat (1) :
1) Untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima;
2) Untuk gratifikasi kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap) pada penuntut umum (PU).
f. Logika pembuat undang-undang dalam menentukan Pasal 12 B ayat (2) untuk tidak membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2, tidak konsisten dengan logika yang tertuang daiam Pasal 12 A yang membedakan ancaman pidana untuk Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut:
1) Yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), diancam pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun (tidak ada minimalnya) dan denda maksimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) (tidak ada minimalnya); lihat Pasal 12 A ayat (2).
2) Yang nilainya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih, berlaku ketentuan pidana dalam pasal yang bersangkutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 12); lihat Pasal 12 A ayat (1). Berarti untuk Tindak Pidana Korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam pasal yang bersangkutan.